Di minggu ini alhamdulillah telah lahir sebuah blog versi lain dari blog utama ini, yaitu mikroblog ardika percha. Apa bedanya dengan blog ini? bedanya dari format penulisan cukup pendek, sesuai namanya “mikro” dan sifatnya santai, compact, simple, dan tetap memberikan info (Insya Allah) bermanfaat, meski skalanya semikro apapun. Lalu yang mau dicoba yaitu pendekatan menulisnya lebih personal dan membahas lika-liku kehidupan sehari-hari, ya semacam daily log yang intim tapi tetap menjaga batas privasi wajar. Nah untuk blog Ardika Percha Blog ini, tetap membahas terkait soal fotografi beserta turunannya yaitu travel, human interest, street photo dengan bumbu perkotaan, plus pembahasan berkutat ke dunia tech digital product atau bahasan dan liputan berbagai event, dan kalau ada rejeki lagi mungkin ya sponsored content.
Lalu kalau soal theme yang digunakan untuk mikroblog juga jauh lebih sederhana nan compact, serta tentunya mobile-friendly bin responsive… but this is not about technical things, yang penting mencoba hal baru, tetap rajin berkreasi dengan menulis, dan fokus ke share content.
Sejarah
Anyway… kalau dirunut sejarahnya, mikroblog atau dengan istilah lebih umum yaitu microblogging sudah pernah juga dibahas di artikel blog utama ini [bisa cek disini], ketika itu microblogging di era tahun 2009, ketika awal Facebook dan Friendster masih digdaya, ada alternatif medsos yang muncul ketika itu dan sifatnya unik, yaitu Twitter dan Plurk, dimana menulis dalam bentuk singkat dan padat sekitar 100-200 characters saja, mirip ketika menulis SMS atau BBM #eh ketahuan tuanya ya kalau bahas beginian π
Nah.. ketika baca-baca lagi di artikel blog ini, keinginan membuat microblog ala ardika percha sudah tercetus idenya semenjak tahun 2021 [bisa disimak artikelnya disini], dimana ketika itu muncul idenya disaat melakukan semacam refleksi tahunan khususnya soal blogging. Di refleksi blog itu ada keinginan tetap memaintain blog utama ini dengan pendekatan lebih personal dan sifatnya berbeda, cuma entah kenapa menulis di blog ini maunya menulis (berusaha) serius dengan tema yang disukai.
Lahirnya mikroblog ardika percha
Nah.. dengan 2 poin tersebut, yaitu blog dengan tema singkat, compact, padat plus ditambah poin dengan pendekatan lebih personal, maka saya putuskan untuk mulai membangun mikroblog ardika percha di site WP terpisah, ini mirip dengan eksekusi blog toyahoia yang dibuat lebih spesifik ke bahasan hobi diecast & mainan.
Lahirnya mikroblog ardika percha ini menjadi challenge pribadi juga kalau dipikir-pikir yaitu membuat catatan harian dengan posting lebih rutin dengan pendekatan berbeda, yaa sekalian mengasah menulis dan membaca, serta poinnya dipaksa menjadi kreatif dengan membuat sebuah ide content dari aktivitas harian, sekaligus tetap hobi blogging tentunya. Bismillah… semoga hal baik & produktif di level mikro ini, Insya Allah bisa membuahkan (mungkin) sesuatu yang besar nanti, ya siapa tahu ya.
Silahkan kunjungi mikroblog ardika percha ditunggu respon & share cerita dari sisi kalian, terima kasih!
Dalam laporan Digital Competitiveness Index (EV-DCI) yang dirilis oleh East Venture, bahwa terdapat pertumbuhan positif dalam hal daya saing digital antar daerah di Indonesia. Laporan EV-DCI merupakan laporan yang disusun untuk mengukur tingkat daya saing digital yang membandingkan seluruh provinsi di Indonesia dengan indeks berdasarkan tiga aspek utama atau sub-indeks, yaitu input, output, dan penunjang.
Daftar Indikator (EV-DCI, 2023)
Dari report tersebut, saya ngulik apa saja sih parameter penilaian dalam index tersebut, maka bisa dipaparkan sbb :
Sub-indeks input dari pilar pembentuk, Sumber Daya Manusia (SDM), penggunaan TIK, dan pengeluaran untuk TIK.
Untuk sub-indeks output dibentuk dari pilar perekonomian, kewirausahaan, dan produktivitas dan ketenagakerjaan.
Sementara sub-indeks Penunjang dengan pilar infrastruktur, keuangan, serta regulasi dan kapasitas pemerintah daerah (PWC, 2022).
Dalam laporan EV-DCI tahun 2023, terdapat rekomendasi yang diajukan dan menjadi salah satu pilar utama untuk meningkatkan perkembangan ekonomi, khususnya ekonomi digital. Salah satu rekomendasi tersebut yaitu berkaitan dengan proses transformasi digital di sisi pemerintah dan mendigitalisasi layanan administrasi publik (EV-DCI, 2023)
Sektor Strategis & Faktor Pendorong Utama (EV-DCI, 2023)
Pemerintah Digital menjadi sektor strategis untuk mendorong perkembangan ekonomi secara keseluruhan dan menjadi salah satu bentuk lompatan dalam menunjang sektor lainnya. Dari hasil baca-baca itu, maka dapat disimpulkan, bahwa topik transformasi dan digitalisasi di pemerintah plus cakupannya dalam pelayanan publik, maka hal ini berelasi dengan konsep e-goverment dan goverment technology (govtech), sehingga konsep dan temuan yang disampaikan di EV-DCI tersebut menjadi topik bahasan yang menarik.
Anyway kenapa saya merujuk ke report EV-DCI ini, karena dari hasil riset kecil-kecilan dan gugling tentunya, memang report ini layak menjadi salah satu acuan dalam melihat bagaimana perkembangan dan tren digital di Indonesia, khususnya dari level daerah hingga nasional serta menyinggung pula terkait isu dan topik transformasi digital, di sisi lain di 2023 lalu saya belum menemukan report atau riset sejenis yang cukup komprehensif terkait isu dan topik ini.
Govtech
Untuk memahami suatu konsep dan suatu pemikiran yang baru, biasanya saya suka memulai dari definisi terlebih dahulu, kemudian memilah ke beberapa hal yang berkaitan, sehingga tujuan akhirnya berusaha mendapatkan (Insya Allah) pemahaman yang cukup komprehensif.
Berangkat dari definisi tersebut, baru saya berusaha memahami dan belajar dari use case dan case study atas pengembangan aplikasi/sistem, serta belajar beragam inisiatif teknologi digital yang berfokus dengan topik tersebut, dalam hal ini mengenai konsep pemerintah digital tersebut.
Definisi yang saya temukan dan cukup merangkum berbagai definisi lainnya, saya rujuk dari situs World Bank :
GovTech is a whole of government approach to public sector modernization. It emphasizes three aspects of public sector modernization: citizen-centric, universally accessible public services, and whole-of-government approach to digital government transformation (World Bank, 2020)
Nah.. dari sisi definisi tersebut, kalau berpikir secara sederhana, maka Govtech menurut saya terkait dengan digital transformation di sisi administrasi pemerintahan yang memanfaatkan beragam inovasi teknologi tersebut.
Contoh Digital Transformation di Pemerintah
Isu single single identity telah lama dibahas dan didiskusikan bersama di Republik ini. Seperti yang saya kutip dari Kompas, ketika seorang warga dapat menggunakan layanan kesehatan dalam lingkup Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, cukup dengan hanya menunjukkan KTP saja, maka integrasi data kependudukan antara BPJS dan Kemendagri Dukcapil sudah terjadi dan sekaligus mendukung inisiatif Satu Data Indonesia (Kompas, 2023).
Lalu di akhir-akhir ini kita diminta untuk memadankan antara NIK KTP dengan NPWP, maka integrasi single identity pun menjadi lebih jelas dan nyata, seperti yang saya kutip dari Media Indonesia, maka integrasi data kependudukan dengan semua layanan menjadi lebih padu dan meningkatkan interopabilitas antar lembaga pemerintahan (Media Indonesia, 2023)
Kemudian sempat membaca mengenai rencana lama pemerintah untuk implementasi aplikasi KTP digital, sehingga pengunaan data kependudukan bisa diakses secara elektronik dan berupa aset digital, meski pemerintah tetap mengakomodir penggunaan KTP konvensional (Kompas, 2022).
Dari beberapa contoh dan case study diatas, maka bisa dilihat bahwa dengan terang benderang pemerintah kita sudah “ngeh” dan “melek” soal pemanfaatan teknlogi dengan mendigitalisasi untuk berinovasi dalam hal administrasi pemerintahan.
Di sisi lain, soal “ngeh” dan “melek” menurut pendapat saya merupakan awal yang baik, namun memang soal pemahaman komprehensif perlu ditingkatkan, kalau rekan-rekan expert dan konsultan mungkin akan memberikan beragam feedback dan rekomendasi dari sudut pandang yang berbeda, dari yang saya baca dan pahami, maka isunya pada tingkat kematangan (maturity level) ketika mengadopsi sebuah solusi teknologi dalam penyelesaian beragam isu di administrasi pemerintahan tersebut.
Dengan membaca maturity level saat ini, maka (mungkin) kita bisa berkaca pada beragam model yang dikembangkan konsultan level dunia macam BCG yang berkolaborasi dengan Google terkait proses assessment ini (Google, 2024) atau konsultan sekelas Deloitte (Deloitte, 2018) dengan metode memahami dimana posisi transformasi digital yang dilakukan pemerintah, lalu perlu dianalisis langkah lanjutan apa yang sesuai dengan maturity level tersebut, jangan sampai solusi yang dikembangkan sulit dipahami atau diterapkan di tingkat operasional teknis dan akar rumput, seperti masih banyaknya prosedur di lapangan membawa fotokopi eKTP dalam pengurusan administrasi publik dan pemerintahan, padahal dengan membawa eKTP sudah cukup, karena terdapat data di chip eKTP yang bisa dibaca dengan reader tertentu, sehingga sifatnya menjadi paperless dan lebih solutif.
Dalam beberapa tahun terakhir digital transformation menjadi semacam langkah untuk mendukung rencana strategis sejumlah perusahaan dan bahkan pemerintah. Kalimat “digital transformation” ini pun menjadi buzz word yang masuk dalam kamus business leader dan tech leader.
Digital transformation menjadi langkah yang masuk akal dan harus dilakukan ketika era pandemi global menghujam dan menyerang seantero dunia. Mau tidak mau dan suka tidak suka, perusahaan terutama korporasi global mempercepat dan mengubah arah kebijakan untuk menerapkan digital transformation menjadi salah satu kunci untuk bersaing maju dan menjadi salah satu cara untuk bertahan hidup plus beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi digital.
Definisi Digital Transformation
Untuk mempelajari lebih dalam dan canggih hal apa pun, kalau saya melakukan dengan pendekatan dengan kembali ke fondasi serta dasarnya, yaitu belajar dan mengenal apa definisi dari digital transformation tersebut.
Digital transformation is the rewiring of an organization, with the goal of creating value by continuously deploying tech at scale. (www.mckinsey.com, 2023)
Menurut artikel digital transformation yang saya kutip dari ww.mckinsey.com dan coba saya terjemahkan sesuai pemahaman saya, bahwa transformasi digital adalah suatu metode/cara dalam mengelola, menyesuaikan, dan memasangkan kembali (rewiring) suatu organisasi dalam mencapai tujuan utama dalam membuat suatu hasil (value) secara berkelanjutan (continuosly) dengan memanfaatkan serta mengimplementasikan (deploying) secara berkala dengan skala yang tepat dan sesuai (at scale).
Dari definisi tersebut, ada beberapa kata kunci yang menurut saya menjadi kuncian memahami digital transformation, yang akan kita pelajari dan share dalam tulisan ini dengan mengambil perspektif dari konsultan global Mckinsey tersebut.
Rewiring
Kata rewiring kalau dari pemahaman secara umum tidak hanya dimulai melulu di sisi soal teknologi dan digital. Menurut saya “rewiring” justru pada hal isu bisnis yang ingin diselesaikan dengan melakukan analisis termasuk pengorganisasian serta perubahan di sisi proses dan di sisi orang-orang yang terlibat untuk mencapai tujuan dan/atau isu yang mau ditangani. Hal ini bisa mengacu pada business process, manpower planning dari sisi rekrutmen, alokasi pekerjaan, pelatihan, hingga jenjang karier plus penugasan, sampai di tahap promosi, suksesi dan rotasi, dan tentunya key objective yang jelas beserta komitmen dan dukungan kuat dari top management hingga level operasional teknis sudah terinternalisasi.
Setelah di bagian process dan people sudah terpetakan, maka dari tahap tersebut diketahui isu dan hal apa saja yang perlu diubah serta disesuaikan, kemudian dianalisis solusi teknologi dan digital apa yang bisa menyelesaikan isu-isu tersebut.
Value
Dalam melakukan hal apa pun, ujung-ujungnya apa yang bisa berikan dan hasilkan berupa semacam value, dimana value tersebut yang bisa dinikmati oleh pihak terkait. Value tersebut bisa jadi menjadi semacam tujuan akhir yang ingin dicapai oleh suatu organisasi bisnis.
Dalam transformasi digital tersebut, menurut hemat saya di setiap tahapan pekerjaan dimaksimalkan value apa yang mau dicapai atau dihasilkan, dimana di setiap tahapan implementasi berujung pada deployment dan berakhir berupa semacam “incremental value” yang berusaha mencapai objektif utama.
Continuosly
Dalam melakukan pekerjaan besar semacam transformasi digital tersebut, konsistensi merupakan salah satu poin penting, karena digital transformation dilakukan dalam horizon waktu jangka panjang dan harus dilakukan dengan melakukan improvement secara berkala dan berkelanjutan.
Rencana pekerjaan dalam transformasi digital bisa jadi dapat dipecah (breakdown) menjadi bagian pekerjaan dalam ukuran lebih kecil dan kemudian didetailkan, serta dibuat menjadi tahapan milestone yang berbeda, namun semua milestone tersebut menuju tujuan akhir mencapai objektif yang sudah dibuat diawal pekerjaan.
Deploy
Setiap pekerjaan yang dalam prosesnya, diujung pekerjaan tersebut harus menghasilkan berupa penambahan value dalam ukuran sekecil apapun, dimana effort tersebut dapat dirasakan dan harus terdokumentasi sehingga menjadi evidence achievement untuk menjadi sebuah lesson learnt untuk improvement di tahapan berikutnya.
At Scale
Dalam transformasi digital yang dilakukan, maka dalam proses perencanaan, pengembangan, hingga implementasi telah didesain dalam periode jangka pendek hingga visi jangka panjangnya. Semua usaha yang dilakuan tentunya dilakukan dengan takaran dan skala yang sesuai ketika hal tersebut direncanakan dan diimplementasikan, namun tetap dipertimbangkan kedepannya dengan fleksibel ketika skala pengembangan dapat menyesuaikan secara dinamis.
Bagi sebagian besar orang pasti memiliki hobi yang dilakukan, tapi ada sebagian orang yang merasa tidak punya hobi, padahal hobi tidak melulu soal melakukan sesuatu atau mengumpulkan sesuatu. Hobi ya melakukan kegiatan yang menyenangkan diluar aktivitas utama misalnya bukan pekerjaan, plus dilakukan di kala senggang.. ya bisa cek di KBBI sih untuk definisi lebih tepatnya π
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hobi
Hobi dilakukan ada pula sebagian orang yang yang memang dengan “sengaja menjatahkan” waktunya untuk melakukan hobi tersebut dengan “serius dan profesional”, sehingga hobi menjadi aktivitas rutin dan menurut saya salah satunya seperti berolahraga yang kadang harus rutin jika tujuannya mau menjaga kesehatan dan tetap fit. Bisa jadi minum kopi di kafe sambil melihat pemandangan menjadi hal asik bagi sebagian orang, contoh ini masuk ke definisi hobi sih.
Alasan kita menjalankan hobi
Di masa pandemi sekitar tahun 2020an hingga 2022an, sebagian besar dari kita yang beruntung bisa tetap bekerja dengan model WFH atau remote, sehingga kita jadi memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga dan dirumah. Dari hal ini pun, saya juga pernah membahas soal pemanfaatan waktu tambahan di artikel blog ini, yaitu bisa ikut beberapa training online/webinar, membaca artikel, belajar sana-sini, dan tentunya juga melakukan hobi, hal ini bisa terjadi karena adanya waktu tambahan, dimana waktu itu ada karena tidak berkomuter ria pergi-pulang kantor, yang bisa memakan sampai sekitar 3-4 jaman perhari!
Poin utama saya menjalankan hobi karena untuk “kesenangan”, dan dengan melakukan hobi, menurut saya menjadi bahan bakar kita untuk bekerja dan/atau belajar lebih giat secara profesional, karena melakukan kegiatan “serius” selain bekerja dan berkeluarga, serta terkadang menjadi me time pribadi.
Hobi Jalan Kaki & Fotografi
Semenjak bujang dan sekolah dulu, saya suka jalan-jalan, literally beneran jalan kaki kemana saja, misal disuruh ortu beli sesuatu atau ketika ngekos butuh sesuatu, awalnya males karena jauh dan di siang hari panas, cuma menjadi menikmati, karena keluar rumah dan menyusuri jalan dengan jalan kaki ke minimarket atau warung yang lumayan jaraknya.
Kalau mau kemana-mana dulu (dan kadang sampai sekarang) ya naik angkutan umum macam kereta atau bis, tentunya dahulu tidak ada namanya ojol/taksol. Jadi dari satu tempat ke tempat lainnya, misal dari stasiun atau halte TJ busway lanjut mau ke tujuan, kalau masih bisa dijangkau dengan jalan kaki ya saya jalan kaki, bahkan pernah jalan kaki bisa sampai sekiloan lebih, karena memang seru, aman, dan nyaman aja, makanya ketika jalan-jalan ke Singapura saya suka negara kota tersebut, pejalan kaki jadi diutamakan.
Selain dulu masih belum kaya, kemana-mana mau gamau harus jalan kaki, karena nggak punya motor, sepeda pun ketika gede gapunya juga, apalagi mobil. Dulu kemana saja sebisa mungkin jalan kaki atau pakai angkutan umum, ya karena irit ongkos, serta tentunya sehat!
Dari hobi jalan-jalan muncul hobi lainnya, yaitu ketika saya terinspirasi dengan bergabung di komunitas fotografi sekaligus komunitas travelling, dari sana saya pun tertarik belajar fotografi dari sisi teknis, filosofinya, dan salah satu rekor pembelian barang termahal, yang saya lakukan pun terjadi yaitu sampai membeli DSLR beserta perangkat turunannya, itu bukti saya seniat itu!
Dari hobi jalan-jalan, saya jadi suka naik angkutan umum dan suka fotografi khususnya terkait fotografi bertema street dan landscape, maka dari hobi ini pun lahirlah side project #komuterkota dan terlibat berkomunitas dengan rekan-rekan saya di LocanaIndonesia sampai bikin acara photowalk segala, ya meski tidak bertahan lama karena kesibukan masing-masing π
Salah satu hobi saya yang saya lakukan bersama keluarga, contohnya hobi makan aka kulineran bersama keluarga, karena istri dan anak saya memang suka makan enak!
Alhamdulillah karena suratan takdir dan mendapat rejeki lebih, saya bisa memiliki mobil nyaman dan bagus versi saya, jadi tersalurkan hobi jalan-jalan aka touring pakai mobil, yaitu mencari spot makanan atau tempat kumpul bersama, dan ujungnya makan minum enak bersama sanak famili.
Selain itu, saya, istri, dan (mungkin) anak saya juga suka budaya korea, dari musiknya kpop, nonton film/serial kdrama, sampai makanannya juga suka. Dulu sempat di suatu periode waktu kita makan korean terus haha π dan suka juga berbau jepang khususnya makanan jepang dan nonton anime.
Hobi Menggambar
Selain itu, karena saya lagi belajar menggambar dan melukis, serta disaat bersamaan anak saya juga lagi sukanya menggambar, maka kita pun sama-sama menjalankan hobi tersebut. Hobi ini keluar khas pandemi banget, karena mau melakukan hal baru dirumah, memanfaatkan waktu yang biasanya digunakan berkomuter rumah-kantor, menjadi kegiatan lainnya dan kalau bisa dilakukan bersama keluarga.
Dari saya yang nggak bisa gambar sama sekali meski sketsa sederhana saja, jadi sedikit naik kelas, bisa menggambar yang ada maknanya, meski kalau dilihat sebenarnya gambar biasa saja, namun yang penting kepuasan dan kesenangan pribadi, plus anak saya juga belajar dari hal tersebut, pastinya dia lebih pintar menggambar dibandingkan saya di usia yang sama waktu kecil dulu.
Hobi Koleksi
Salah satu hobi jadul yang kembali muncul di hidup saya, yaitu hobi mengoleksi mainan berbentuk die cast. Walau hobi ini sempat turun pamor, namun beberapa taun terakhir jadi naik daun entah kenapa, lalu tiba-tiba beberapa orang share soal die cast dan saya pun tertarik ngulik hobi ini. Salah satunya melakukan apa yang disebut toy photography secara simple versi saya, dengan poto-poto die cast.
Dari hobi koleksi die cast ini, saya tidak hanya mengoleksi mainannya, tetapi juga jadi membaca dan mengikuti di beragam tontoan video bisa di youtube maupun nonton video lainnya di internet soal car culture ini. Serunya karena menyimak sejarah mobil dan budayanya, lalu karena baru mengenal mobil, maka tertarik dengan gimana sih tongkrongan mobil-mobil keren yang dikisahkan, serta bagaimana orang kok jadi tergila-gila dengan mobil plus modifikasinya, belum (dan jangan sampai hehe) kearah sana,… yaa saya sebatas koleksi die cast-nya saja π
Dari dulu saya tertarik dengan visualisasi data, yang awalnya suka membaca dan melihat grafis dan beragam visualisasi data, lalu lambat laun mencoba mencari data/informasi dari sumber lain, kemudian belajar menuliskan ulang & menginformasikan dari sudut pandang saya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena saya memang ketika itu lagi belajar menulis dan suka blogging, maka tersalurkan hobi tersebut.
Soal ketertarikan pengolahan data dan informasi itu saya pernah lakukan dengan membuat personal project Durabita. Sebagai informasi, project ini memang berbeda dengan side project lainnya terkait literasi digital yang dahulu pernah saya bikin, meski memakai branding yang sama, meski tujuan besarnya yaitu terkait juga dengan topik edukasi dan pendidikan.
Kenapa saya suka Visualisasi Data dkk.?
Ketika melakukan & jalan dengan project Durabita ini bahkan sampai saya buatkan situs tersendiri disini, meski tampilan situs terakhir tidak mencakup semua data terdahulu, hal ini terjadi karena berbagai alasan serta tidak terdokumentasi dengan baik, isu data bekapan hilang dan di domain yang berbeda juga, maka disayangkan banyak data yang hilang mengenai Durabita. Selain itu, karena belum ada “orderan” lagi serta belum aktif lagi dan akhirnya lebih kepada informasi umum saja ke publik.
Durabita
Ketika membuat Durabita, karena background dan minatnya suka blogging, maka menyajikan informasi hanya berperan membuat uraian dan narasi dari sumber data yang sudah ada dan sudah jadi atau sudah matang, kemudian dituliskan kembali dengan gaya saya pribadi. Jadi bukan secara teknis mengambil/mencari data mentah, lalu mengolah data, lalu menyajikan data dengan tool teknikal.
Selain itu, karena tidak mengetahui soal konsep data analytics, menggunakan tool canggih analytics, apalagi soal konsep statistik yang njelimet, dan tentukan saya bukan seorang dengan kemampuan data engineer apalagi data scientist, data analyts atau DBA, maka saya lebih suka menceritakan berupa narasi saja dari grafis atau data yang sudah tersedia.
Data Analytics & Data Visualization Tools
Setelah sering berinteraksi dengan DBA, data engineer atau data scientist, atau data analyst di beragam pekerjaan saya sebelumnya, maka secara tidak langsung terpapar informasi dan lingo yang mereka gunakan. Tools semacam Power BI, Excel advance macro, data warehouse, data studio, beragam analytics, atau di era sekarang tools atau teknologi seperti Tableau, machine learning, atau coding dengan bahasa Phyton mungkin menjadi familiar dikalangan praktisi data.
Tools dan teknologi yang saya sebut diatas, tentunya butuh expertise khusus dan tidak hanya harus mengerti secara teknis menggunakan tools-nya, namun ada ilmu lain yang harus dikuasai seperti statistik dan matematika salah satunya, dan yang ini bisa menjadi pendorong kenapa . Lagipula tujuan saya bukan switch career menjadi orang Data, namun lebih kepada belajar konsep dasar soal data, menambah kreativitas soal visualisasi data, yaa kalau memang bisa menambah khazanah wawasan di dunia kerja ya Alhamdulillah.
Untuk rekan-rekan yang mengetahui soal analytics tools di pasaran, bahwa untuk menggunakan beberapa tools analytics tersebut terkadang butuh user license yang pasti tidak murah, dan kalau pun ada yang free maka hanya tersedia versi trial terbatas, lalu saya pun tidak mengerti secara teknis misalnya konfigurasi dan implementasi tools tersebut, plus belum tentu bisa diakses dengan mudah melalui internet publik.
Namun ketika terlibat disuatu project di kantor, seorang rekan menawarkan rekomendasi dan solusi cross platform untuk memfasilitasi kebutuhan kerjaan kantor, bahkan minim biaya bahkan free, tergolong lebih mudah diimplementasikan dibandingkan toolsejenis, dan bisa diakses melalui internet publik tanpa effort berlebih, serta tidak terlalu kompleks, dan sifatnya simulasi/reporting yang tidak perlu super canggih, maka dari beragam info dan fitur yang tersedia saya pun menjadi tertarik secara pribadi untuk belajar dan membantu pekerjaan kantoran.
Mengenal Looker Studio
Tools yang saya ceritakan sebelumnya yaitu Looker Studio dari Google, yang UI-nya mirip dengan Google Data Studio terdahulu namun lebih simple dan menurut saya sejauh ini user friendly untuk fungsi dasar, yang sebelumnya saya tidak ngeh soal tools analytics tersebut.
Dalam mengisi waktu senggang, (hampir) setiap orang punya cara dan ritual masing-masing dalam memanfaatkan waktu tersebut. Sebagian dari kita mengisi waktu senggang, waktu luang, dan waktu rehat diluar jam kerja dengan melakukan hobi, baik dilakukan sendiri, bersama keluarga, maupun bersama rekan & kerabat.
Pada awal pandemi saya pribadi merasakan manfaat positif WFH, dari belajar hal baru, menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, sampai melakukan hobi. Soal ini saya pernah bahas di artikel blog dalam pemanfaat waktu di kala pandemi ini dan salah satunya mengenai belajar hal baru, bahkan hobi baru.
Hobi baru (rasa lama) yaitu hobi koleksi dan main mobil-mobilan aka die cast. Hobi ini sebenarnya seingat saya sudah pernah “ditekuni” semenjak SD. Sewaktu SD dalam beberapa tahun saya pernah tinggal bersama Eyang di Jakarta, ketika ortu berkelana keliling Indonesia dan setiap masa “gajian pensiunan” Eyang kadang membelikan mainan sebagai hadiah, dan mainan yang sering dibeli yaitu mainan mobil-mobilan.
Dari memori masa kecil itu saya ingat betapa seru dan asyiknya punya mainan mobil-mobilan dan meski secara (mungkin) tidak sadar, saya mengenal pertama kali namanya hobi.
Dari kenangan masa kecil itu, maka akhir-akhir ini saya sering melihat beragam konten medsos soal die cast ini, serta ternyata komunitas dan pasarnya cukup besardan mungkin lebih luas beragam dibandingkan komunitas action figure (ini sok tahu, gapakai data :D), soalnya dari sekian banyak rekan saya, paling tidak awalnya suka mobil-mobilan dan sebagian masuk ke hobi action figure juga, dan koleksi mobil-mobilan merupakan pijakan awal untuk mengoleksi barang/mainan lain terutama action figure dsb. π
Dari hobi ini, maka saya berkeinginan “memformalkan” menjadi hobi “resmi” yang iseng-iseng ditangani “lebih serius”, sekaligus menjalani hal yang menyenangkan dan sepertinya masih bisa dikontrol dari sisi budget & waktu, perawatan tidak berat, memakan space yang kecil karena akan fokus di die cast reguler saja denga skala1:64 atau sejenis, serta punya komunitas cukup besar di Indonesia.
Dari hal tersebut, maka lahirlah toyahoia dan saya pun berkeinginan membuat blog yang menjadi semacam sub-tema dan sub-domain dari blog utama saya ini.
toyahoia lahir dari kenangan masa kecil dan hobi mengoleksi mainan plus keahlian baru terkait mobil yang membuat terpana atas dunia mainan dan permobilan. Hasrat βinner childβ juga muncul ketika melihat beragam mainan canggih dan keren bersama anak tercinta yang juga menyukai boneka, action figure, mainan edukatif, dan mainan βanak kecilβ lainnya.
toyahoia ini juga lahir sebagai dokumentasi semua koleksi die cast, sekaligus mengasah dan membangkitkan hobi yang berkaitan yaitu blogging, fotografi ala ala toy photography, dan belajar hal baru soal update blog cms wp terbaru yang ternyata banyak update yang dikembangkan dan mendukung soal content creation khususnya dalam bentuk tulisan teks.
Kalau kamu, anda, ente, you… yang juga hobi main die cast bisa kita saling silaturahmi dan berkunjung ke blog toyahoia ya. Terima kasih!
Di minggu lalu saya menemukan sebuah artikel website yang menarik dan sekaligus sebuah laman diserta dengan desain dan visualisasi yang unik yaitu membahas mengenai aktivitas menulis. Website tersebut yaitu visualizevalue yang menampilkan bentuk tulisan pendek disertai ilustrasi sederhana namun bermakna.
https://visualizevalue.com
Aktivitas menulis khususnya menulis sebuah artikel blog atau blogging merupakan salah satu bentuk aktivitas bagaimana kita menerima, mengolah, memproses, dan menghasilkan sebuah artifak lain (baca: tulisan/content), dengan kata lain salah satu bentuk karya kreatif dan kepingan dari hasil sebuah pemahaman sebelumnya, dimana sebagai individu kita menyimpan sekilas minat dan pengetahuan yang kita pahami sebelumnya kedalam bentuk sebuah tulisan.
Tulisan tersebut pun menjadi bermakna dan berharga, minimal berharga dan bermakna dari perspektif kita pribadi meski sereceh apapun tulisan tersebut. Poin ini pun menjadi reminder ketika saya mulai belajar menulis dan menyusun blog, yang pernah saya sampaikan di artikel blog ini bahwa ada sebuah motif or reason yang tepat ketika memulai sesuatu, ini pun menjadi connect seperti yang agama saya ajarkan, bahwa konsep nawaitu pun menjadi hal krusial untuk melakukan aksi selanjutnya.
Dari sudut pandang saya pribadi, untuk tulisan-tulisan yang pernah saya buat, baik yang saya tulis dan telah dipublikasi ke blog ini salah satunya, maupun catatan kecil yang saya buat untuk saya baca dikemudian hari dan berfungsi memang sebagai “catatan untuk masa depan”, misalnya catatan pekerjaan atau bahkan catatan ketika saya sekolah/kuliah dulu merupakan sebuah hasil pemrosesan pemikiran kita dan informasi yang kita catat/tampilkan atau kita simpan tersebut akan dibaca kembali atau padanan katanya dalam English yaitu di-retrive untuk dimanfaatkan kembali.
Sebagian ada pula catatan yang saya buat sebagai material dasar atau fondasi untuk melakukan berbagai hal, atau kepingan tulisan-tulisan yang pernah saya buat tersebut diolah dan diproses menjadi sebuah tulisan lain yang lebih baik/bermakna.
Menulis pun bisa menjadi sebuah paket lengkap dalam mengumpulkan, mengolah, mempresentasikan kembali (baca: dibaca/dikonsumsi), dan tulisan tersebut menjadi sebuah artifak teknlogi yang bisa dirasakan pengalamannya oleh baik diri kita sendiri maupun orang lain yang membacanya.
https://twitter.com/jackbutcher
Kalau merujuk ke KBBI, definisi teknologi terkait dengan metode ilmiah dan ilmu pengetahuan, dan kedua hal tersebut erat kaitannya dengan salah satu bentuk berupa media tulisan yang saya coba pahami tersebut.
kbbi.kemdikbud.go.id
Dari uraian dan pembahasan tersebut, maka saya pun mencoba memahami dan berkesimpulan yaitu sebagai berikut :
sederhana namun apik dan bermakna, yang coba saya tangkap dari visualizevalu
dari kepingan tulisan yang pernah dan masih proses saya susun dan buat, maka bisa menjadi tidak hanya sebagai “catatan” namun bisa menjadi hal lain yang mungkin saja berbeda, dan paling tidak bermakna dari kacamata saya pribadi, syukur Alhamdulillah bermakna positif untuk banyak orang
dari poin sebelummnya, jadi terpikir untuk “relook” pembelajaran saya terdahulu mengenai knowledge management, khususnya topik personal knowledge management (PKM), untuk menyusun sebuah struktur atau prosedur bagaimana kita mendapatkan, menyimpan, dan mengolah berbagai informasi yang kita peroleh kemudian kita olah dan produksi atau kita gunakan lagi untuk berbagai kepentingan lain.
Seperti artikel blog yang saya tulis tempo hari mengenai munculnya media sosial alternatif, khususnya dengan model microblogging menjadi buah bibir dan obrolan hangat tidak hanya di online, namun juga menjadi topik diskusi di ranah offline. Kehadiran media sosial alternatif mencoba melawan hegemoni Twitter yang saat ini mencapai momentum yang tepat.
Ketika terjadi ‘hostile takeover’ oleh Bos Elon dan sikap si Bos yang dianggap sebagian netizen tidak elok dilakukan secara etika pada umumnya di Twitter, menjadi salah satu pemicu dan pendorong terjadinya eksodus atau migrasi dari Twitter ke media sosial alternatif lainnya.
Dalam artikel blog yang saya tulis tersebut membahas mengenai Mastodon sebagai sebuah media sosial alternatif (baca: microblogging alternatif) yang mencoba merebut hegemoni Twitter selama bertahun-tahun. Mastodon hadir dengan konsep dan visi yang revolusioner serta kental dengan misi aktivisme digital, lebih tepatnya ke sisi aktivisime gerakan open source dan open web yang bersifat “lebih terbuka, adil, dan demokratis”. Dengan positioning tersebut menempatkan Mastodon sebagai pemain terdepan dalam gerakan tersebut.
Mastodon Vs Twitter
Why Mastodon? (joinmastodon.org)
Munculnya Mastodon dengan konsep dan teknologi yang unik disertai nuansa gerakan aktivisme digital yang dilakukan oleh sejumlah komunitas dan para penggiat digital & teknologi di jagat maya, membuat terjadinya eksodus dari Twitter ke Mastodon sehingga muncul tagar #twittermigration menggema di Twitter pula.
Mastodon sendiri muncul karena visi sang Founder Eugen Rochko yang telah melakukan pengembangan Mastodon semenjak tahun 2016, bahwa Rochko menyuarakan konsep “federated” dalam ranah media sosial, sehingga setiap server/instance yang saling terhubung dalam lingkup Mastodon dijalankan dan dikelola oleh sejumlah pihak atau komunitas yang sifatnya independen dan didukung serta didanai secara mandiri pula, namun terjalin dan dalam aturan dasar serta etika yang dibangun oleh komunitas secara bersama.
Federated (joinmastodon.org)
Selain aturan dasar berkomunitas yang menyatukan sejumlah besar instance/server tersebut, Mastodon dikembangkan oleh Rochko dengan mengadopsi protokol komunikasi yang disebut ActivityPub, dimana protokol desentralisasi media sosial ini telah menjadi poin acuan dan rekomendasi oleh W3C dan Social Web Working Group, sebuah lembaga nirlaba yang telah dikenal sebagai standar web secara umum.
Dalam wawancara bersama TIME Magazine di bulan November 2022 akhir-akhir ini, Rochko menyatakan bahwa Mastodon dikembangkan bersama rekan dan komunitasnya sebagai kanal dia mengekspresikan diri secara online kepada teman-teman melalui pesan pendek (baca: microblogging), dan ekspresi ini merupakan hal penting tidak hanya dia sendiri, namun penting untuk keseluruhan dunia, dan mungkin perihal ini tidak dikontrol dan dikuasai oleh sebuah perusahaan saja. Melalui TIME, bahkan Rochko menyampaikan dengan jelas, bahwa dia tidak percaya top-down control yang dilakukan oleh Twitter, maupun perusahaan media sosial lainnya.
Ketika diluncurkan tahun 2016, Mastodon sempat menjadi sebuah fenomena tersendiri, namun timing ketika isu Twitter-Elon dan konsep federated yang khas ini menjadi sebuah pemicu dan batu loncatan bagi Mastodon, terbukti dalam sekitar 4 harian setelah akusisi Twitter oleh Elon, maka terdapat eksodus lebih dari 120.000 user baru yang bergabung ke Mastodon (Time, November 2022).
Mastodon bukan yang pertama
Sebelum Mastodon, sudah beberapa perintis media sosial alternatif yang mencoba melawan hegemoni Twitter dalam ranah layanan media sosial, khususnya media sosial yang dikembangkan yang mengakar pada gerakan digital dan internet activism, maupun dikembangkan dari aplikasi dalam ranah open source.
Salah satu yang cukup dikenal di kalangan gerakan dan ranah tersebut yaitu ketika munculnya StatusNet di periode tahun 2010. Ketika itu, StatusNet dikembangkan bersama-sama open standard spesifik mengenai layanan microblogging lainnya yang disebut OStatus. StatusNet dikembangkan oleh Matt Lee bersama lembaga open source FSF, dan menjadi buah bibir di kalangan gerakan digital.
Hadirnya OStatus dan StatusNet merupakan fondasi dasar dalam pengembangan layanan media sosial yang menerapkan konsep-konsep open web, open source, dan sifatnya lebih transparan, karena siapapun dapat berkontribusi dalam pengembangannya, serta yang terpenting digerakkan oleh beragam komunitas internet. OStatus ini pun menjadi pendorong pengembangan ActivityPub di sekitar tahun 2014 sebagai standar baru dalam pengembangan protokol open web khususnya terkait dengan layanan media sosial microblogging tersebut, dan protokol tersebut pun menjadi acuan pengembangan Mastodon di periode tahun 2016.
Meski munculnya beragam media sosial yang, baik bersumber dari pengembangan komersial dilakukan oleh sejumlah tim, maupun pengembangan berdasar komunitas yang sifatnya open web, belum ada media sosial yang dapat tangguh melawan hegemoni Twitter, khususnya dalam layanan media sosial berjenis microblogging services. Hadirnya Mastodon membawa angin segar terhadap dunia teknologi pada umumnya, sehingga kita dapat mempunyai pilihan sekaligus alternatif dalam bermedia sosial kedepannya.
Setelah huru-hara tempo hari ketika “hostile takeover” si bos Elon terhadap Twitter, sontak banyak netizen yang meradang dan bersikap negatif, terutama sikap si bos setelah aksi korporasi tersebut, mengubah aturan (berkomunitas di Twitter) seenaknya dan ketika melakukan PHK massal (tidak beretika) di Twitter.
Menurut saya memang seperti itulah “gaya seorang bos” terhadap perusahaan miliknya, namun saya malas saat ini membahas sikap Elon tersebut secara detail, malah lebih tertarik membaca reaksi publik dan mempelajari perilaku netizen di jagat maya.
#TwitterMigration
Seperti yang sudah diperkirakan, maka netizen seantero dunia pun pasti mencari ‘rumah baru’ atau fokus ke media sosial lain, atau ada yang menjadi lebih pasif dan menjadi silent reader.
Soon after Elon Musk purchased the social network for $44bn on October 27th, the hashtag #TwitterMigration started trending. Some are searching for alternative spaces to swap news, views and pictures of pets https://t.co/whApESWyrT
salah satu twit yang bisa menggambarkan situasi ketika #twittermigration mulai viral dan hal ini disampaikan oleh media besar mainstream sekelas The Economist pun ngetwit soal ini. Nah.. kalau saya sih hingga saat ini masih bertwitter ria, meski kurang suka dengan sikap personal si Elon yang kurang etis, namun tingkah polah ybs memvalidasi hipotesis saya, bahwa orang (katanya) hebat yang diagung-agungkan pasti ada bug-nya π yaaa meski ybs memang punya achievement luar biasa di mata sebagian besar warga dunia dengan solusi paypal, tesla, isu dogecoin, spacex dan sekarang dengan twitter!
Di sisi lain, penasaran dengan berbagai cuitan dan salah satunya ada yang sampai boikot twitter, aksi ini digemborkan di twitter bersama dengan aksi #twittermigration yaitu teriak anti twitter untuk pindah/tidak menggunakan media tersebut, tapi hebohnya ya di Twitter juga! π
Twitter Alternative
Dari hashtag #twittermigration itu banyak yang mencuitkan beberapa alternatif media sosial, khususnya media sosial dengan konsep microblogging. Yang menjadi hit salah satunya yaitu bangkitnya Tumblr menjadi salah satu tempat baru bagi netizen dari Twitter, lalu ada pula Hive Social atau pun lari ke media existing seperti TikTok & Instagram, meski dengan format berbeda. Lalu tiba-tiba ada satu media sosial bernama Mastodon dengan konsep yang unik berbeda dengan microblogging lainnya, karena visi dan konsep desentralisasi yang unik dibandingkan oleh media sosial lain.
Kalau cek-ricek di data Google Trend ada perubahan dari sisi pencarian untuk twitter alternative dan media sosial lain yang cukup melonjak naik di bulan Oktober hingga di pertengahan November 2022. Sebagai catatan data ini berdasarkan data pencarian di Google, mungkin tidak sepenuhnya akurat, namun mencoba membaca perilaku pencarian (dalam periode waktu singkat) dengan keyword generik saja.
Google Trend
Why Mastodon?
Why Mastodon? (https://joinmastodon.org)
Dengan melihat kembali alternatif Twitter seperti Hive Social, Tumblr, dan yang terakhir Mastodon, maka saya putuskan untuk mencoba dan mengulik lebih dalam Mastodon ini. Selain itu, kenapa kenapa saya join Mastodon karena konsep federasi yang unik dan sifatnya open source.
Menurut saya Mastodon mungkin mirip dengan konsep engine blog website WordPress (tolong koreksi jika saya kurang tepat soal ini) yaitu semua orang bisa dan berhak menggunakan engine Mastodon tersebut dengan melakukan instalasi di server mereka masing-masing dengan menggunakan protokol yang sama.
Server-server yang ber-Mastodon disebut sebagai ‘instance’ yang memiliki konfigurasi server berbeda dan aturan komunitas masing-masing, namun tetap menggunakan protokol yang sama, yaitu protokol ActivityPub dengan kode etik merujuk aturan yang dikelola oleh entitas Mastodon gGmbH, sesuai konsep open souce dan desentralisasi tersebut.
Seperti WordPress, maka pengelola instance tersebut bebas melakukan perubahan dan penambahan serta tetap terkoneksi satu sama lain dengan Mastodon ini. Lalu karena Mastodon ini tujuan utamanya adalah media sosial, lebih spesifik microblogging, maka fitur lainnya yang menarik adalah adanya interopabilitas antar instance (baca: server) tersebut.
Sebagai contoh misal saya ada di instance komunitas fotografi yang notabene di ‘server fotografi’ dapat berkomunikasi dengan misal rekan saya di instance komunitas museum di server museum misalnya, karena saya posting sebuah foto museum, maka rekan saya menimpali reply atas postingan tersebut. Berkomunikasi maksudnya bisa nge-toot (istilah di Mastodon untuk post), lalu dapat saling posting reply, atau bisa nge-boost (di media sosial tetangga disebut retweet), favorit, bookmark, share ke media lain, sampai saling follow, meski berbeda instance/server namun menggunakan protokol open web yang sama.
Ketika join pertama kali ke Mastodon pun kita akan ditanyakan untuk memlih instance yang sesuai dengan kebutuhan dan kemauan kita, lalu ketika ada suatu hal yang tidak pas misalnya, atau menemukan instance lain yang lebih cocok dengan kebutuhan kita, maka kita pun bisa berpindah ke instance lain. Sebagai contoh saya member di instance fotografi, lalu karena merasa ‘klik’ dan cocok dengan member-member komunitas museum, maka saya pun bisa berpindah ke instance komunitas museum tersebut, jadi setiap orang berhak dengan bebas bertanggung jawab berkomunitas di suatu instance, lalu bisa pindah ke instance lain, asal tidak bikin rusuh dan mengikuti aturan Mastodon secara umum dan aturan instance secara spesifik.