Dalam kurun seminggu terakhir di sela-sela kesibukan pekerjaan & keseharian, saya mencoba mengerjakan personal project untuk membuat landing page ala tool Linktree dengan berbagai motif dan latar belakang yang bisa dibaca lebih detail di artikel blog saya sebelumnya.
Di awal project ini sebenarnya mencoba inventaris semua task pekerjaan di JIRA sebagai bagian dari planning activity, cuma dengan berjalannya waktu, maka ada beberapa task yang perlu disesuaikan sehingga project dapat terus berjalan untuk berusaha mencapai goal-nya.
Next section akan saya update info secara garis besar untuk menjelaskan prosesnya sekaligus sebagai dokumentasi project ini.
Bikin Landing Page
Untuk pembuatan landing page karena ini sifatnya satu page dan sifatnya statis, maka akan menggunakan tipe content ‘page’ sesuai engine website WordPress dengan theme standar WP serta dengan menggunakan pengaturan text dan image standar. Sesuai nature landing page ala Linktree tersebut, maka page tersebut ditujukan untuk diakses via perangkat mobile (mobile first – mobile optimized), maka tampilannya scrollable dari atas ke bawah vertikal.
Ketika pengerjaan bikin landing page ini ternyata ada satu kendala bahwa image yang disisipkan (embedd) tidak bisa dimasukkan sebuah link, maksudnya yaitu membuat sebuah image yang clickable link, padahal di WP sendiri ada tool menyisipkan link didalam image, namun tidak berfungsi setelah beberapa kali dicoba. Solusi atas isu diatas, maka dibuat script code HTML sederhana agar bisa membuat clickable image agar visitor bisa klik link di image-nya.
Bikin creative asset & handle digital growth things
Pembuatan creative asset seperti image yang diposisikan sebagai image icon yang ketika diklik akan membuka link yang dimaksud, maka seluruh pembuatan menggunakan aset image yang telah dimiliki dan dibuat template desain box dengan rasio 1:1 dengan menggunakan template standar Canva kemudian diekspor dan dilakukan size optimzing dengan Tinyjpg agar ukurannya terkompress tanpa mengabaikan kualitas image-nya.
Selain soal imaga juga diatur strukturnya sesuai kebutuhan, yaitu untuk blog berada diatas sebagai rumah digital, kemudian disusul media sosial, lalu kumpulan artikel blog terpilih, dan diakhir berupa form kontak untuk membuka jalur komunikasi awal selain email resmi blog.
Setelah beragam hal terkait creative, maka saya pun mencoba riset untuk tool tersebut, tentunya mencoba Linktree dan menggali informasi tool sejenis seperti about.me, Yubi, Desty, Tapbio, dsb. untuk mendapat gambaran umum layanan sejenis. Dari riset tersebut tentunya semuanya memiliki keseragaman yaitu praktis dalam membuat landing page sederhana dengan beragam desain yang cukup menarik disertai report performance standar.
Kemudian task berikutnya collect dan setup semua content termasuk artikel link untuk dibuat short link-nya menggunakan Bitly, agar bisa nanti di-track performance trafficnya, dan mudah disebar ke berbagai channel/media sosial. Setelah itu, di-update content tersebut disertai image tadi untuk masuk ke pembuatan landing page ala Linktree tersebut. Setelah semua beres, maka masuk untuk penulisan artikel ini untuk update progress sekaligus dokumentasi atas project L3 ini.
Track & Monitor aka PMO-ing
Salah satu motif untuk menjalankan project L3 ini, yaitu mencoba & implementasi langsung menggunakan tool Atlassian Jira sebagai tool untuk track & monitor versi free-nya, yang 75% mirip dengan fitur corporate yang berbayar yang biasanya saya pakai untuk kerjaaan kantoran pas di startup, dan pakai Toggl untuk tracking waktu pekerjaan tersebut
Untuk project ini seharusnya sesuai planning dikerjakan estimasi selesai pada akhir April-awal Mei dan setelah melihat task-task sekaligus riset dan review kelengkapan content, termasuk keberuntungan adanya waktu berlebih yang tersedia dan penyesuaian atas task yang perlu diubah/diparkir karena dianggap tidak perlu dilanjutkan atau sudah selesai. So dari sikon tersebut, maka landing page-nya ala Linktree ini telah selesai versi kali ini dan bahkan sudah dilakukan update link di profil Instagram, sehingga diperkirakan di akhir minggu depan sudah beres.
Melihat situasi tersebut, maka sudah bisa dikatakan 80-90% project ini sudah selesai dan sudah berjalan soft-launching or beta version, tersisa task terkait content artikel, update page, hingga review performance dan PMO task lainnya.
Pada akhir bulan Mei 2020 yang lalu, saya berkesempatan berbagi ilmu mengenai topik Product Management di event Digital Innovation Lounge Bekasi (DiLo Bekasi) dalam naungan Telkom Indonesia, yang membahas perihal sebagai berikut :
posisi dan fungsi seorang yang bekerja selaku Product Management
skill apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang Product
bagaimana keseharian seorang Product dalam proses product development
Fungsi Product Management
Seorang yang bekerja di posisi dengan role Product Management (Product Manager, Product Analyst, Product Marketing, Product UX, Product Development, dsb.) berperan dan menjembatani fungsi lain dalam product development, yaitu mencapai objektif perusahaan dan/atau product vision serta men-deliver value terhadap pengguna product tersebut.
Seorang Product person berada di tengah-tengah antara fungsi Tech, User eXperience, dan Bisnis, sehingga dapat menjadi HUB dan DRIVER dalam pengembangan product tersebut. Mengenai apa dan bagaimana seorang Product Manager bekerja telah dibahas cukup detail di artikel blog ini, yang sempat saya singgung dan share di event tersebut.
Skill Product Person
Untuk menjadi seorang Product Person yang baik, maka dibutuhkan beberapa skill agar dapat menunjang pekerjaan sehari-hari dan mencapai objektif yang telah ditentukan. Beberapa skill yang dibutuhkan yaitu seperti berikut :
Dalam pengembangan sebuah product, dalam hal ini terkait product management, maka diperlukan sebuah acuan, metode, pola dan kerangka kerja. Selama ini saya dan kolega menggunakan product management framework yang saya susun berdasarkan pengalaman, feedback, dan pembelajaran dari berbagai sumber, sehingga menghasilkan apa yang saya sebut RGB Framework dalam pengembangan sebuah product.
Kenapa disebut RGB Framework?
Istilah RGB terinspirasi dari standar sRGB yang dikembangkan di tahun 1996 oleh HP dan Microsoft di berbagai perangkat elektronik sebagai sebuah standar visual yang ditampilkan pada berbagai macam layar monitor, komputer, perangkat printer, kamera, scanner, dsb. RGB itu sendiri merupakan singkatan dari red, green, dan blue yang menjadi standar visual yang merupakan kombinasi dari warna merah, hijau, dan biru sebagai susunan warna yang digunakan. Dengan adanya sRGB, maka semua perangkat ketika itu menggunakan standar yang sama dan memudahkan semua pihak terkait.
Dari inspirasi tersebut, saya pun dalam bekerja sekaligus mempelajari berbagai standar dalam pengembangan sistem, aplikasi, hingga ke tahap era product development banyak menemukan berbagai acuan dan panduan yang berbeda-beda, dan memiliki kelebihan masing-masing.
Orde Lama SDLC (Waterfall)
Alhamdulillah saya diberikan kesempatan merasakan implementasi metodologi yang termahsyur di jamannya, kala itu SDLC (System Development Life Cycle) yang umum digunakan yaitu metodologi waterfall yang digunakan sekitar 6-7 tahun lalu diberbagai proyek pengembangan sistem.
Metodologi waterfall menurut Project Management Institue dijelaskan secara singkat bahwa sebuah aktivitas pengembangan dan pembangunan (baik di ranah software development, maupun pengembangan bisnis secara keseluruhan) yang dilakukan secara sequential, yaitu bertahap dari 1 fase ke fase yang lain secara berurutan. Kenapa disebut waterfall, karena alur dari metodologi ini mengalir layaknya air terjun yang jatuh dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Meski banyak metodologi proyek (pengembangan sistem) yang telah ada, namun kepopuleran si air terjun ini masif digunakan diberbagai proyek IT di berbagai perusahaan, dan waterfall dianggap sebagai nenek moyang (bagi saya pribadi) untuk metodologi pengembangan sistem.
Pengalaman Berair Terjun
Awal karier saya berkesempatan ikut dan berpartisipasi di berbagai proyek pengembangan baik dari sisi proses bisnis (business process analysis & improvement), pengembangan prosedur (SOP dan juklak serta turunannya), hingga pengembangan sistem berbasis teknologi informasi bisa berupa aplikasi, portal, hingga level ERP yang masif.
Ketika itu, tahap awal biasanya dilakukan pertemuan besar yang mengumpulkan semua pihak yang terlibat, dan yang biasa disebut kick off meeting, di meeting tersebut merupakan tahap inisiasi awal memulai sebuah proyek, yaitu dijelaskan mengenai siapa saja yang bertanggung jawab, apa saja yang dikerjakan dan harus di-deliver, berapa lama estimasi waktu proyek dijalankan, gambaran besar teknis pengerjaan, do & donts dalam aktivitas tersebut, hingga soal standar pengerjaan, dokumentasi dan resources lain yang digunakan.
Ketika memulai karier dan bekerja dahulu sebenarnya tidak akan terpikirkan menjadi seorang Product Manager yang menangani beragam hal yang cukup kompleks dan menantang, baik dari sisi teknologi, bisnis, dan berusaha fokus membantu konsumen atau pengguna akhir, serta juga siap beradaptasi dengan hal yang dinamis, sekaligus berpikir kreatif, namun dituntut pula dapat bekerja secara sistemastis terstruktur, plus dapat bekerja sama serta berdiskusi dengan banyak pihak.
Setelah belajar dengan membaca, berdiskusi, hingga menonton beberapa video mengenai Product Management, termasuk menyelami keseharian profesi Product Manager lainnya di ranah industri digital, maka dari berbagai materi yang saya baca tersebut, semakin hari saya merasa semakin banyak hal yang secara pribadi harus saya tingkatkan serta makin banyak hal yang saya harus pelajari. Hal ini membuat saya merasa ingin berbagi sejumput informasi dan pengetahuan yang saya ketahui, agar teman-teman yang tertarik dan berminat dengan profesi ini, bisa belajar serta mudah-mudahan menjadi lebih baik dari saya, plus menabung pahala berbagi ilmu di surgawi kelak!
Apa itu Product Manager?
Nah… ini dia pertanyaan yang sering dilontarkan kalau ketemu kawan atau handai taulan diluar sana. Saya sering menjelaskan dengan menggunakan diagram yang dipaparkan oleh Martin Eriksson, bahwa pihak yang terlibat dalam product management dan dalam hal ini di posisi sebagai Product Manager, menurut pandangan beliau, bahwa orang Product berada diantara irisan bidang teknologi dalam pemahaman yang saya tahu, masuk terkait dalam technical development, coding-programming, mobile apps, desktop apps, database, security, sampai infrastruktur.
Selain bersentuhan dengan bidang teknologi serta bekerja sama dengan technical leader dan developer handal, bahkan terkadang berdiskusi dengan boss CTO (baca: Chief Technical Officer, yang jadi bos besar seluruh tim technical/developer/engineer), teman-teman QA yang menjadi expert dan melakukan proses testing, validasi, dan verifikasi sesuai kebutuhan sistem, orang Product juga terkait erat dengan orang-orang bisnis, dalam hal ini termasuk dengan teman-teman business development, account, sales, operation, dan semua hal terkait dengan sisi komersial (baca: untung rugi a.k.a. profit-losst dan budgeting) dari produk tersebut. Di beberapa organisasi ada juga fungsi terkait data analysis, data engineering, dan bahkan ada sebagian jika punya sedikit kemewahan ada fungsi data scientist. Biasanya orang Product berdiskusi dengan orang Data, atau business analyst, business intelligence, atau bisa juga berdiskusi dengan CRM pula.
Last not but least, seorang Product Manager juga ngobrol dan berdiskusi dengan teman-teman UX (User eXperince), dalam hal ini kalau yang saya pahami ya teman-teman UX, serta kawan-kawan creative dan desainer grafis, bahkan rekan-rekan marketing communication yang berfokus pada kepentingan bagaimana produk atau aplikasi tersebut bisa diakses dan digunakan secara baik dan maksimal oleh semua pengguna produk kita, dalam ranah ini termasuk dalam hal sisi branding produk tersebut. Khusus teman-teman UX yang saya maksudkan juga termasuk UI designer, UX researcher, dan ada sebagian fungsi ini disebut juga product designer dan product researcher.
So, kesimpulannya seorang Product Manager adalah orang yang bertanggung jawab terhadap segala hal terkait produk tersebut, termasuk dalam perencanaan, pengembangan, implementasi, sampai proses monitoring, dengan bekerja sama dengan pihak terkait. Biasanya posisi ini punya wewenang yang cukup besar, tergantung kebijakan perusahaan atau tergantung kebutuhan, sehingga memiliki jangkauan kerja yang cukup luas, dan lebih kepada seorang integrator, primary supporter, serta terkadang punya role mirip internal consultant, bahkan punya fungsi leader yang menjembatani seluruh fungsi dan tim terkait.
Di beberapa perusahaan fungsi Product Manager punya kemiripan dengan fungsi Brand Manager (khususnya di perusahaan consumer product or FMCG) yang fokus pada pada sebuah brand tertentu, namun di era jaman now yang serba digital, menurut pemahaman saya posisi ini lebih sedikit condong ke arah khususnya ke ranah teknologi dan digital, serta dipadukan dengan fungsi bisnis serta fokus ke pengalaman konsumen (baca: UX).
Lalu sempat juga ada celetukan bahwa fungsi ini mirip dengan fungsi business analyst dan/atau system analyst yang berperan menjadi sosok yang menjembatani end user dengan tim programmer/developer. Kalau menurut saya, baik Business Analyst dan/atau System Analyst bekerja (mungkin dan bisa jadi ) dalam periode sebuah project tertentu dalam batasan periode waktu terbatas, dan fokusnya sebagian besar di sisi teknologi saja, dan tidak bertitik berat pada sebuah pengembangan product tertentu. Namun ada pula seorang BA/SA yang tidak terikat project dan masuk ke ranah operasional harian yang menjadi semacam internal consultant di organisasi tersebut, dan bisa jadi fokus ke satu cakupan tertentu atau bahkan mendukung seluruh organisasi tersebut, tetapi tidak spesifik ke suatu produk tertentu.
Celetukan ini juga sama dengan kesamaan fungsi Product dengan posisi Project Manager, namun jelas, seorang Project Manager sama dengan Business Analyst lebih condong dalam cakupan sebuah project, atau condong ke suatu cakupan area tertentu, dan tidak fokus ke pengembangan sebuah product atau pun misalnya membahas soal branding aplikasi tersebut. Memang dalam hal kemampuan teknis dan non teknis yang dibutuhkan memiliki kesamaan yang diperlukan dalam bekerja sebagai seorang Product Manager menurut saya, namun berbeda pada area cakupan fokus kerjanya dan mindset-nya.
Kemudian ada satu celetukan bahwa fungsi Product Manager mirip dengan fungsi Product Owner dalam metodologi Scrum yang lagi heboh recently diimplementasikan di beberapa corporate di Indonesia. Nah.. untuk yang ini, ada sebagian Product Manager yang memiliki fungsi sebagai Product Owner jika pengembangan product tersebut menggunakan Scrum atau metodologi Agile lainnya, apa lagi pengembangannya dilakukan dalam beberapa tahapan development sprint, so bisa jadi di beberapa perusahaan tertentu, fungsi dan posisi ini adalah orang yang sama.
Selain itu, ada pendapat para ahli yang saya baca dan temukan di jagat maya, bahwa Product Owner adalah orang yang tidak hanya tahu dan menjadi expert bagi spesifik produk, namun dia punya wewenang dalam memutuskan langsung terkait baik bisnis maupun ranah teknologi (dengan berkonsultasi ke tech leader tentunya), bisa jadi seorang CEO (jika organisasi masih “bayi” dan berukuran kecil), atau role sebagai seorang deputy-nya CEO seperti VP atau level Chief (baca: CPO) yang punya kuasa dan tanggung jawab besar atas pengembangan produk tersebut.
Apa saja yang dikerjakan Product Manager?
Sehari-hari biasanya saya diselingi dengan kesibukan dengan mengevaluasi semacam product plan (diluar sana banyak menyebutnya sebagai product backlog) termasuk dengan semacam daftar apa saja yang harus dikerjakan, lalu daftar perbaikan dan penyempurnaan produk, baik dari sisi fitur maupun proses yang lebih baik, maupun melihat segalanya dari sisi global.
Selain itu, dalam pengembangan product seperti uraian sebelumnya, sempat dibahas seorang Product Manager atau siapa pun yang bertugas di tim Product Management bekerja sama dengan pihak teknologi, bisnis, dan UX.
Jika berkolaborasi dengan kawan-kawan di tim teknologi, maka pasti kerjaanya membahas taks-task development, membahas alur proses aplikasi atau website, bahkan saya justru kagum dan belajar banyak hal dari mereka, salah satunya bagaimana tetap optimis dan can-do attitude yang ciamik, karena dari hal yang berasa tidak mungkin dari ribuan code yang ditulis (atau memodifikasi template framework maupun “obrak-abrik” API yang ada) bisa menghasilkan sentuhan ajaib dan memberikan solusi yang akhirnya bisa diimplementasikan. Isu yang dihadapi selain isu teknis, sepengalaman saya yaitu perihal komunikasi serta ekspektasi dari tim yang terlibat, dan disinilah salah satu tugas saya untuk membantu dan memfasilitasi hal tersebut, sekaligus tetap berusaha mencapai memenuhi target di product plan (backlog), baik dari sisi waktu maupun kualitas.
Lalu selain banyak berdiskusi dengan tim teknologi, maka saya pun kadang brainstorming dengan tim creative, UX, marketing, ataupun tim bisnis pula yang memiliki ide-ide hebat nan kreatif, yang berusaha melayani dan membuat hidup konsumen atau pengguna akhir kita bak raja sekaligus memenuhi target dari sisi product plan. Dan tidak lupa, semua hal yang dikerjakan terkadang berawal dan/atau bermuara ke teman-teman di tim bisnis atau komersial, bagaimana membuat dampak langsung ke perusahaan dari sisi profitabilitas sekaligus berusaha allign dengan kepuasan konsumen atau pengguna akhir kita.
Penutup
Dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya pun terus belajar dari berbagai sumber, apa lagi di industri (baca: bisnis) yang saya geluti sifatnya yang sangat dinamis dan terkadang penuh ketidakpastian dari sisi pasar (baca: konsumen & kompetitor), sisi teknologi maupun dari sisi interaksi tim internal sendiri (termasuk tuntutan dari manajemen), semoga apa yang saya paparkan dapat memberi pencerahan mengenai role atau fungsi Product dalam organisasi.
Product Manager merupakan profesi atau fungsi yang menurut saya cukup kompleks, harus pintar dalam menjalin hubungan, berkolaborasi dengan banyak orang, dan harus memiliki beberapa skill krusial yang dibutuhkan, namun (menurut pendapat saya), terkadang jika dilihat tugas utamanya membuat sesuatu yang kompleks bin ruwet tersebut menjadi lebih sederhana, lebih bisa diimplementasikan (saya menyebutnya faktor achievable), serta membuat tim lebih fokus dengan objektif yang ada, dan bisa merangkul banyak pihak [meski belum tentu bisa membuat senang dan bahagia semua orang :D]. Yang terpenting orang Product bisa memberikan value-added pada konsumen akhir, produk itu sendiri, pada tim dan rekan kerja termasuk organisasi serta menambah cuan bisnis kedepannya.
So.. bagaimana menurut kamu tentang peran Product Manager? apa kamu sering berinteraksi dengan orang Product? Atau ada feedback konstruktif terkait tulisan saya diatas? Yuk, share dimari pendapat dan masukannya di kolom komentar.