
Materi Indigo Series Telkom Indonesia
Go-To-Market : Collaboration Between Product & Marketing Team
ulasan terkait product management, digital user interface (UI), & user experience (UX)
Pada akhir bulan Mei 2020 yang lalu, saya berkesempatan berbagi ilmu mengenai topik Product Management di event Digital Innovation Lounge Bekasi (DiLo Bekasi) dalam naungan Telkom Indonesia, yang membahas perihal sebagai berikut :
Seorang yang bekerja di posisi dengan role Product Management (Product Manager, Product Analyst, Product Marketing, Product UX, Product Development, dsb.) berperan dan menjembatani fungsi lain dalam product development, yaitu mencapai objektif perusahaan dan/atau product vision serta men-deliver value terhadap pengguna product tersebut.
Seorang Product person berada di tengah-tengah antara fungsi Tech, User eXperience, dan Bisnis, sehingga dapat menjadi HUB dan DRIVER dalam pengembangan product tersebut. Mengenai apa dan bagaimana seorang Product Manager bekerja telah dibahas cukup detail di artikel blog ini, yang sempat saya singgung dan share di event tersebut.
Untuk menjadi seorang Product Person yang baik, maka dibutuhkan beberapa skill agar dapat menunjang pekerjaan sehari-hari dan mencapai objektif yang telah ditentukan. Beberapa skill yang dibutuhkan yaitu seperti berikut :
Continue reading Sharing Product Management di Event DiLo Bekasi
Dalam pengembangan sebuah product, dalam hal ini terkait product management, maka diperlukan sebuah acuan, metode, pola dan kerangka kerja. Selama ini saya dan kolega menggunakan product management framework yang saya susun berdasarkan pengalaman, feedback, dan pembelajaran dari berbagai sumber, sehingga menghasilkan apa yang saya sebut RGB Framework dalam pengembangan sebuah product.
Istilah RGB terinspirasi dari standar sRGB yang dikembangkan di tahun 1996 oleh HP dan Microsoft di berbagai perangkat elektronik sebagai sebuah standar visual yang ditampilkan pada berbagai macam layar monitor, komputer, perangkat printer, kamera, scanner, dsb. RGB itu sendiri merupakan singkatan dari red, green, dan blue yang menjadi standar visual yang merupakan kombinasi dari warna merah, hijau, dan biru sebagai susunan warna yang digunakan. Dengan adanya sRGB, maka semua perangkat ketika itu menggunakan standar yang sama dan memudahkan semua pihak terkait.
Dari inspirasi tersebut, saya pun dalam bekerja sekaligus mempelajari berbagai standar dalam pengembangan sistem, aplikasi, hingga ke tahap era product development banyak menemukan berbagai acuan dan panduan yang berbeda-beda, dan memiliki kelebihan masing-masing.
Alhamdulillah saya diberikan kesempatan merasakan implementasi metodologi yang termahsyur di jamannya, kala itu SDLC (System Development Life Cycle) yang umum digunakan yaitu metodologi waterfall yang digunakan sekitar 6-7 tahun lalu diberbagai proyek pengembangan sistem.
Metodologi waterfall menurut Project Management Institue dijelaskan secara singkat bahwa sebuah aktivitas pengembangan dan pembangunan (baik di ranah software development, maupun pengembangan bisnis secara keseluruhan) yang dilakukan secara sequential, yaitu bertahap dari 1 fase ke fase yang lain secara berurutan. Kenapa disebut waterfall, karena alur dari metodologi ini mengalir layaknya air terjun yang jatuh dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Meski banyak metodologi proyek (pengembangan sistem) yang telah ada, namun kepopuleran si air terjun ini masif digunakan diberbagai proyek IT di berbagai perusahaan, dan waterfall dianggap sebagai nenek moyang (bagi saya pribadi) untuk metodologi pengembangan sistem.
Awal karier saya berkesempatan ikut dan berpartisipasi di berbagai proyek pengembangan baik dari sisi proses bisnis (business process analysis & improvement), pengembangan prosedur (SOP dan juklak serta turunannya), hingga pengembangan sistem berbasis teknologi informasi bisa berupa aplikasi, portal, hingga level ERP yang masif.
Ketika itu, tahap awal biasanya dilakukan pertemuan besar yang mengumpulkan semua pihak yang terlibat, dan yang biasa disebut kick off meeting, di meeting tersebut merupakan tahap inisiasi awal memulai sebuah proyek, yaitu dijelaskan mengenai siapa saja yang bertanggung jawab, apa saja yang dikerjakan dan harus di-deliver, berapa lama estimasi waktu proyek dijalankan, gambaran besar teknis pengerjaan, do & donts dalam aktivitas tersebut, hingga soal standar pengerjaan, dokumentasi dan resources lain yang digunakan.
Sekitar tahun 2012 saya sempat bergabung (sebentar) dengan salah satu agency periklanan, pemasaran, dan branding yang cukup tersohor di eranya, karena memegang beberapa brand ternama dan bahkan memiliki kontrak jangka panjang aka retainer dengan beragam big brand.
Saat itu, agency ini sedang (berusaha) bertransformasi menjadi digital agency untuk memperluas market (baca: billing) di pasar Indonesia. Leaders di agency tersebut (sepertinya) susah payah membangun tim digitalnya pertama kali di Indonesia ketika itu, karena isu talent di Indonesia dan hal yang berbau digital adalah “spesies” yang masih baru dikenal. Hal ini terbukti sebelum saya masuk, ketika saya masih bekerja disana, hingga saya sudah resign pun mereka kesulitan dalam merekrut kandidat yang punya latar belakang digital, teknologi, sekaligus paham branding dan marketing (sounds want to recruit superman & super team aka avenger ya?!), dan diharuskan memiliki wawasan dan pemahaman yang spesifik terkait beberapa topik dan skill yang dibutuhkan.
Salah satu posisi yang dicari ketika itu adalah digital strategist, digital analyst dan digital content, dan ketiga posisi tersebut, diminta untuk memiliki pemahaman mengenai Information Architecture. Nah.. untuk pertama kalinya saya mengenal terminologi baru bin asing di telinga saya, yaitu Information Architecture, dan semasa itu tergolong minim informasi mengenai topik tersebut, dan bahkan scope ini di digital-social media masih terbilang ranah media baru di Indonesia. Dengan berbekal hunting informasi, membaca sana sini, dan berdiskusi dengan pelaku industri, saya pun akhirnya tetap terjun untuk bergabung, karena dengan sekalian praktek sepertinya bisa langsung tahu dan menghadapi kasus nyata di lapangan, plus menikmati beberapa training dari kantor pusat yang cukup memberikan asupan wawasan ke otak saya.