Daging dan makanan olahan berbahan dasar daging yang biasa kita santap sehari-hari telah menjadi salah satu sumber pangan utama dalam kehidupan kita sehari-hari. Perjalanan daging hingga mencapai piring dan yang kita santap tersebut, memiliki hulu dari kandang-kandang peternak di berbagai tempat Indonesia, namun melihat pasokan yang disediakan peternak lokal pada kenyataannya masih tergolong kurang memenuhi kebutuhan konsumsi nasional, bisa dilihat dari kebutuhan daging Indonesia yang masih defisit sekitar 114 ribu ton pertahunnya (Kompas, Desember 2013), bahkan untuk suplai daging kita sampai perlu mengimpor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Melihat fakta tersebut, bahwa tren impor daging yang dilakukan dari tahun ke tahun menanjak naik, membuat lambat laun ketergantungan kita dengan daging impor menjadi tinggi.
Selain itu, daging impor tersebut yang memiliki harga pasaran yang bersaing, dengan kualitas cukup baik, sehingga perlahan industri peternakan dalam negeri yang mayoritas dikelola oleh UKM menjadi terpinggirkan di Republik ini, akibat pasokan impor daging yang membanjiri pasar. Di sisi lain, isu ketahanan pangan, kedaulatan pangan, serta swasembada pangan pun menjadi isu yang krusial di tahun-tahun kedepan dan menjadi PR yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa dan masih terus bertambah, sudah selayaknya Indonesia harus mampu mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Tiga dimensi yang secara implisit terkandung di dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan (food availability), stabilitas pangan (food stability), dan keterjangkauan pangan (food accessibility) masih perlu dikembangkan lebih lanjut (Diwyanto & Priyanti, 2009).
Seperti kata pepatah lama “ditengah kesempitan, pasti ada kesempatan”, maka dari pepatah tersebut, adanya isu ketergantungan impor daging, karena adanya defisit suplai lokal, lalu serbuan impor daging di pasar lokal, membuat tantangan tersebut menjadi ladang usaha menjanjikan bagi para pengusaha lokal termasuk UKM, khususnya pelaku industri peternakan, untuk optimis melihat ceruk pasar dalam memenuhi kebutuhan serta potensi pasar perdagingan Indonesia di masa datang.
Warung Ternak adalah salah satu contoh UKM yang bergerak dalam bidang peternakan dan penyediaan daging, didirikan dan dikembangkan sejumlah mahasiswa yang berawal dari skala mikro dan tumbuh menjadi salah satu pemain dan memiliki ceruk pasar daging tersendiri. Warung Ternak dilahirkan dari sebuah kompetisi kewirausahaan di tahun 2009, hingga Warung Ternak pun terlibat dalam program inkubator bisnis di kampus tempat bernaung para pendiri menimba ilmu tersebut.
Saya berkesempatan mengunjungi peternakan Warung Ternak yang berlokasi di Pancoran Mas Depok, beberapa pekan menjelang hari raya Idul Adha. Memasuki area peternakan Warung Ternak nan asri, ditemani suara mengembik dari kambing dan domba bersahutan yang khas, serta berdiskusi dengan topik mengenai kewirausahaan, kepemudaan, dan peternakan, ketika bertemu dan bersilaturahim dengan pengelola sekaligus salah satu pendiri peternakan tersebut, yaitu mas Sholihin.
Ketika berkunjung siang hari itu, saya berkesempatan melihat dan merasakan kehidupan peternakan, seperti menyaksikan penggembalaan hewan ternak, pelepasan kawanan ternak dari kandang, pemeriksaan kondisi ternak, kandang, dan lingkungannya, hingga ketika peternak memberi pakan ke kambing dan domba.
Warung Ternak yang didirikan berawal dari sejumlah anakan domba dan kambing yang diternakkan, lalu berkembang menjadi puluhan ternak dan terus berkembang hingga saat ini, kemudian kisah Warung Ternak bagaimana beralih dari peternak musiman yang hanya fokus ketika hari raya Qurban, menjadi penyedia daging segar untuk kepentingan individu seperti aqiqah, serta menjadi penyuplai ke berbagai restoran dan bisnis makanan lainnya, hingga perbincangan berbagai isu klasik dan isu saat ini sedang dihadapi semenjak saya mengenal Warung Ternak, mulai dari isu pemasaran dan penjualan, bagaimana kondisi pasar dan kompetitor, lalu isu pakan dan obat-obatan yang tergolong mahal, serta isu biaya karkas yang cenderung fluktuatif, biaya pengelolaan kandang yang perlahan menanjak naik, isu akses dan dukungan pendanaan dari lembaga finansial, lalu isu politik dumping yang terkadang dilakukan kompetitor, sehingga membuat pelaku usaha tersebut mengalami kerugian, kemudian isu kurangnya suplai pekerja berkompeten yang mau terjun di bisnis peternakan, khususnya pekerja usia muda, dan isu alami seperti penyakit yang menjangkiti ternak, hingga isu adanya semacam “mafia daging” dalam mata rantai industri daging tersebut.
Dibalik kisah yang dipaparkan diatas, serta cerita yang saya ketahui dan pahami hingga saat ini, ada impian besar di benak para pendiri di masa depan, yaitu impian Warung Ternak bertransformasi menjadi sebuah one stop solution, dari usaha peternakan, penyedia daging segar, hingga terjun ke bisnis makanan dengan menu olahan berasal dari daging, sehingga menjadi sebuah korporasi agribisnis, yang tidak hanya menguntungkan para pendiri dan pengelola, namun mampu mendayagunakan dan menguntungkan lingkungan sekitar.
Kesempatan menyaksikan sekilas kehidupan di peternakan tersebut, sekaligus berbincang mengenai perkembangan Warung Ternak dan persiapan menjelang Idul Adha, serta diskusi mengenai isu yang dihadapi, membuat saya semakin mendalami pengalaman bertahun-tahun mengenal Warung Ternak yang telah dilalui dalam perjalanan bisnisnya, disertai kisah suka duka dari UKM tersebut, serta harapan dan optimisme yang terus terpancar dari bisnis yang dijalankan pendiri Warung Ternak tersebut.
Warung Ternak merupakan salah satu potret UKM di ranah peternakan Indonesia yang perlu didukung secara konkrit oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta, karena berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, ternak mempunyai peran dan fungsi yang kompleks dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Sebelum dekade 1970-an, sebagian besar petani memelihara ternak secara sambilan atau hanya sebagai keeper atau user, dan hanya sebagian kecil sebagai producer, serta tidak ada yang sebagai breeder. Namun pada masa itu atau sebelumnya, Indonesia justru berswasembada (Diwyanto & Priyanti, 2009).
Menilik informasi diatas berdasar fakta sejarah yang ada, serta urgensi atas isu ketahanan dan kedaulatan pangan dalam sedekade terakhir, maka UKM-UKM dalam bidang peternakan seperti Warung Ternak seharusnya dan idealnya menjadi fokus pembuat kebijakan, agar menjadi salah satu penyokong dalam tulang punggung industri pangan di Indonesia, serta meminta pemerintah membuat kebijakan yang pro rakyat, dengan kembali menilai, mengatur, dan menata ulang tata niaga peternakan termasuk menilai kembali kebijakan impor daging tersebut. Sehingga kedepannya, peternak-peternak Indonesia tidak hanya bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhannya dan melengkapi kebutuhan konsumsi nasional, bahkan melihat potensinya, peternak lokal seharusnya menjadi raja di negeri sendiri, dan bertransformasi menjadi sebuah industri unggulan dan menjadi salah satu penyokong pembangunan nasional.
Tautan Luar :
- Data kebutuhan daging nasional : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/12/30/1338243/2014.Indonesia.Kekurangan.40.000.Ton.Daging.Sapi
- Materi peternakan Indonesia oleh
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti : http://www.academia.edu/3106621/PENGEMBANGAN_INDUSTRI_PETERNAKAN_BERBASIS_SUMBER_DAYA_LOKAL1_
- Situs resmi Warung Ternak : http://warungternak.com