Culture Kerja & pengalaman mencoba (lagi) layanan kesehatan Indonesia

Hari ini kalau soal pekerjaan, dari pagi sudah berjalan cukup intens dengan diskusi dan debat konstruktif. Uniknya di diskusi pagi itu menurut saya tergambar ada dua culture kerja yang saling bertolak belakang. Di culture yang pertama ini, saya rasakan ada aura demokratis, saling support, bersifat kolaboratif, ada trust, dan berusaha mencari solusi, serta yang penting adanya dialog konstruktif, ujungnya solusi mana yang bisa dicapai diposisi saat itu, tanpa melupakan visi jangka panjangnya. Di sisi lain untuk culture yang kedua sifatnya ada aura diktator, directive, dan mencari celah kesalahan, micromanage, ada isu trust, kesannya harus selesai bagaimana pun caranya agar tercapai, dan sering menggunakan cara eskalasi keatas. Menarik!

Culture Kerja

Dari pengalaman pagi hari ini soal culture kerja, coba saya share apa yang saya rasakan dan pahami. Untuk culture kerja pertama banyak saya alami (minimal dari pengalaman saya pribadi, entah orang lain bisa berbeda) ketika bekerja di perusahaan rintisan (startup yang terpapar pola kerja & budaya dari barat), lalu saya rasakan juga di perusahaan multinational dan well-known company yang sudah mature (khususnya yang berasal dari negara Eropa dan sebagian Amerika), maupun perusahaan lokal yang orang-orang, timnya, dan leaders pernah berkecimpung di perusahaan yang saya sebut sebelumnya dan menularkan kesekitarnya (terutama leaders). Kalau yang saya sebut terakhir lebih kepada komunitas pekerja dan fokus ke people-nya, bukan ke perusahaannya.

Untuk culture kedua banyak saya alami ketika di perusahaan yang saya sebut “perusahaan keluarga”. Culture kerja kedua saya rasakan ketika bekerja perusahaan lokal yang sudah puluhan tahun berdiri dan sifatnya semua alur prosedur sudah “dari sononya”, lalu pengalaman bekerja yang perusahaan/induknya dari wilayah Asia Timur, dan pengalaman dengan culture kerja yang kedua ini kental saya rasakan ketika bersentuhan dengan orang terlibat birokrasi negara atau instansi pemerintah. Apa yang sampaikan bisa saja salah, dan tidak semua seperti itu ya, namun itu yang saya pahami dan rasakan selama ini.

Anyway istilah culture kerja ini entah suatu istilah yang tepat atau tidak, tapi menurut saya lebih menggambarkan semacam keseluruhan pola interaksi dan kebiasaan yang terjadi di suatu lingkungan kerja. Istilah dan definisi ini merujuk dari pemahaman saya, kalau dianggap kurang tepat dan salah, ya monggo dikoresi, toh ini sebuah pendapat dan perspektif pribadi.

Faskes

Ketika diskusi seru pagi tadi yang menggambarkan dnamika culture kerja tersebut, maka setelah Jumatan siangan menuju sore, akhirnya fokus saya beralih ke anak saya, yang sempat saya share di postingan ini ketika di awal Ramadhan anak saya sakit. Ketika sakit, anak saya lebih banyak tidur, padahal biasanya sudah main kesana kemari dan aktif sekali, sekarang sedih juga melihat anak tertidur lemas di kasur.

Sebenarnya ketika sakit dan cenderung belum ada kesembuhan yang signifikan, dan telah menginjak hari kedua, maka di keesokan pagi harinya, anak segera saya bawa ke klinik dekat rumah untuk dilakukan pengecekan dan bisa ditangani oleh dokter. Sebagai informasi, saya menggunakan fasilitas dari JKN, yang kebanyakan orang menyebutnya dengan layanan fasilitas kesehatan (Faskes) BPJS Kesehatan. Klinik ini dari sisi alur prosedur JKN merupakan layanan faskes tingkat pertama/pratama, sehingga seluruh JKN BPJS kami sekelurga sudah dialihkan ke klinik ini sebagai layanan tingkat paling bawah dan klinik ini sudah menjadi langganan kami sekeluarga.

Bagi sebagian orang layanan faskes pertama di benak orang mungkin kurang oke dan banyak kekurangannya, tapi alhamdulillah dengan riset intens di internet dan kunjungan langsung ke lokasi, akhirnya saya putuskan klinik ini menjadi faskes tingkat pertama dan saya pindahkan dari faskes sebelumnya. Ketika pindah ke rumah baru ini, banyak yang harus dilakukan, tidak hanya mikir soal lingkungannya, dan fasilitas lainnya, namun salah satu yang dipikirkan yaitu soal layanan kesehatan. Bahkan sampai terpikir dimana lokasi puskesmas, lokasi rumah sakit, apotek, sampai tempat isi ulang oksigen rumahan terdekat, karena dampak pandemi yang lalu.

Klinik ini dari sisi infrastruktur termasuk lengkap, ada layanan dokter umum, dokter gigi, apotek, sampai ada layanan UGD, dan kondisi tempatnya tergolong sangat baik, bersih, layanannya oke, dan di saat darurat mereka helpful! Semua layanan kesehatan tersebut sudah kami rasakan sekeluarga, dari layanan dokter umum, sampai layanan dokter gigi, meski kadang kalau ada layanan tambahan diluar cakupan BPJS, contohnya ketika perawatan dokter gigi diluar scaling gigi standar, karena asuransi kesehatan tidak dicover disini (tidak bekerja sama) dengan model cashless, maka kami menggunakan layanan kesehatan dengan model reimburse ke kantor, dan sudah berjalan cukup baik.

Selain itu, ngga tau ini hal yang baik atau tidak, kami juga sudah merasakan layanan UGD ketika istri kesakitan malam hari, layanan darurat setelah kuret, dan ketika saya pribadi mengalami kecelakaan, maka kami sekeluarga langsung ke klinik ini, karena mau memanfaatkan maskimal BPJS Kesehatan tersebut. So.. sejauh ini BPJS Kesehatan or JKN ini, dari pengalaman saya sudah cukup mumpuni, memang ada beberapa limitasi dan belum sempurna, cuma sejauh ini sudah jauh lebih baik.

Nah untuk hari ini, karena sudah ditangani layanan kesehatan pertama di klinik ini, maka ketika gejala sakit anak saya masih ada (meski ada sebagian progress positif) dan anehnya sudah menginjak hari kelima masih belum kunjung reda, maka sesuai anjuran dokter di klinik juga, agar dibawah ke rumah sakit, kalau butuh layanan lebih lanjut jika belum kunjung reda sakitnya dalam 2-3 hari kedepan ketika itu.

Di rumah sakit ini untuk layanan lanjutan kesehatan anak saya, maka saya memanfaatkan layanan asuransi kesehatan swasta yang full dicover oleh askes kantor dengan metode cashless. Dari alur pendaftaran, cek dokter, sampai cek lab, lalu lanjut lagi follow up cek dokter kemudian pengambilan obat di farmasi berjalan lancar dan cukup cepat, ya semua kembali lagi dengan pepatah lama yaitu ada rupa, ada harga!

Nah… ketika memakai layanan kesehatan dengan JKN juga pernah saya rasakan di rumah sakit berbeda, sejauh saya rasakan tidak jauh berbeda dari awal hingga terima obat, paling yang berbeda yaa antriannya itu cukup panjang dan harus bersabar, plus siap-siap berhadapan dengan segala printilan administrasi, tapi kalau sudah pernah dan tahu alur prosedurnya, maka semua itu juga menjadi hal biasa dan menurut saya masih acceptable. Bahkan istri saya dan orang tua sudah pernah merasakan manfaat JKN ketika rawat inap dan rawat jalan cukup sering, jika ada hal yang perlu ada cakupan layanan lebih luas, dan ada isu teknis lainnya, maka memang sebaiknya memiliki asuransi kesehatan swasta sebagai backup, atau bisa juga sebaliknya ya.


Tautan Lain

  • https://glints.com/id/lowongan/budaya-kerja-startup-dan-korporat/
  • https://www.kompas.id/baca/riset/2021/07/17/perjalanan-sistem-jaminan-kesehatan-di-indonesia
  • https://www.cnbcindonesia.com/news/20231009100642-4-478969/pindah-faskes-bpjs-kesehatan-bisa-online-ini-caranya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top